Sunday, June 6, 2010

Petulangan Cinta Terlarang Ku

Suasana kantor pada hari Jumat jam setengah empat sore kali ini hampir tidak berbeda dengan biasanya. Dari ruang pribadiku terdengar hiruk pikuk teman-teman sekerja yang bersiap-siap pulang, canda ria yang terdengar lepas, dan tulat tulit ponsel mereka yang sudah mulai ditelepon dari rumah untuk rencana week end. Seperti biasanya juga, aku pulang agak terakhir. Bukan karena rajin, tapi karena aku malas mengemudikan Katana hijauku dalam antrian panjang berkelok-kelok yang memenuhi gedung parkir pada jam-jam segini. Aku tetap duduk di kursi kerjaku, mengerjakan beberapa hal untuk persiapan hari Senin nanti, agar hari Mingguku bisa terasa lebih bebas. Setelah aku rasa cukup, aku membuka-buka beberapa situs favoritku di internet, seperti FriendFinder, nba.com, dan lain-lainnya. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Yak, masuk Nov!” kataku singkat. Pintu terbuka, dan masuklah Nova, seorang teman kerja yang waktu itu baru diangkat menjadi asistenku.
“Kok tahu kalau aku?” tanyanya keheranan sambil menutup pintu kembali.
“Yah.. siapa lagi kalau bukan kamu?” jawabku tanpa memberitahunya kalau aku sudah hafal pola ketukannya yang agak lebih keras dibandingkan teman-teman lain.

Wanita itu meletakkan tas kerjanya di sofa putih di seberang ruangan lalu mendatangi meja kerjaku sambil matanya sesekali melirik kesana-kemari untuk mencari benda-benda aneh baru yang memang sering kupajang di situ. Ketika matanya menemukan sebuah album foto di meja samping, ia lalu membelokkan arahnya ke situ dan mencomotnya. Dalam hati aku tertawa geli melihat tingkahnya yang agak kekanak-kanakan meski usianya hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Kini ia mengamati foto-foto itu dengan mimik serius, sementara aku mengamati dia.

Nova adalah seorang mantan atlet yang bentuk tubuhnya terpelihara dengan baik meski warna kulitnya agak kecoklatan karena dulu sering diterpa matahari. Wajahnya cukup manis menurutku, sementara pakaian-pakaian yang menempel di badannya selalu mengikuti apa yang kupakai, ia juga selalu mengikuti ke mana aku pergi, dan melakukan apa yang aku lakukan. Pendeknya, di mana ada Sari, di situ ada Nova, entah dalam bisnis atau just for fun, singkatnya, dia seorang sidekick sejati buatku. Ia adalah seorang petualang baru yang memilih menjadi petualang karena kebetulan ia sangat dekat denganku.

Agak merasa berdosa juga aku, jika mengingat saat pertama ia datang ke kantor memenuhi iklan lowongan koran. Waktu itu aku sendiri yang mewawancarainya, dan waktu itu ia tampak masih lugu dengan kacamata berbingkai hitam tebal dan rambut panjang sebahu serta pakaian yang… well… konvensional. Namun sekarang? Dari tempat dudukku aku bisa mengamati posturnya yang semampai (sekitar 170-an lah) dan berbahu bidang itu sedang berdiri di sisi ruangan dengan terbungkus setelan pakaian kerja Escada merah menyala yang elegan namun terkesan seksi. Kacamata berbingkai tebal juga sudah digantikan dengan contact lens coklat, sementara rambut ikalnya kini dipotong persis seperti rambutku, pendek seleher dan simpel. Untung saja rambutku lurus, hingga masih tetap ada bedanya.

“Ini foto waktu kapan, Mbak?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, pas SMA”, jawabku singkat.
“Kenapa emang?”
“Mbak Sari yang mana?” tanyanya balik dengan tetap mengamati album foto itu dengan mimik serius.
“Yang mana, hayooo?” Godaku sambil mematikan Macintosh dan beranjak berdiri dari kursi kerjaku.
“Yang ini ya?” tanyanya sambil menghadapkan album foto itu padaku dan menunjuk sebuah foto.
“Iya, yang itu”, jawabku sambil membenahi tas kerjaku.
“Cantik ‘kan?”
Kata-kata terakhir itu tadi mendapatkan jawaban berupa ekspresi mengejek dari wajahnya.
“Norak, ah!” katanya sambil menutup album itu dan melemparnya kembali ke meja.
“Kaki kepanjangan gitu masa pakai celana kependekan, apa nggak malah berkesan kerempeng?” lanjutnya lagi, yang kubalas dengan sebuah tinju agak keras di lengannya.

Kami lalu tertawa-tawa sambil menanti jam bergeser ke pukul setengah lima, supaya perjalanan mobilku lancar di gedung parkir. Nova menceritakan padaku tentang masa-masa hidupnya sebagai atlet, tentang latihan-latihan fisik yang dilakukannya, dan hal lain yang terkesan macho dan terlalu dibesar-besarkan. Sementara aku dengan tak kalah membual juga menceritakan tentang latihan yang kualami pada saat aku tergabung dalam sebuah klub basket.

“Eh, gimana rencana malam ini?” tanya Nova di tengah pembicaraan.
“Aku belum ada rencana lebih jauh”, jawabku.
“Kamu ada rencana apa?”
“Yahhh…” desah Nova panjang sambil merentangkan kedua tangannya dan menggeliat malas.
“Aku sih pengen jalan-jalan.”
“Jalan-jalan apa jalan-jalan?” tanyaku dengan nada menggoda.
“Hmm…” Nova terdiam agak lama.
“Pengennya ya jalan-jalan biasa, tapi kalau nanti ada hasilnya, yah, nggak apa-apa kan?”

Pembicaraan terus berlanjut hingga akhirnya tiba pada topik kesenangan wanita, yaitu membicarakan orang lain. Kami membicarakan seorang kawan yang kebetulan sering bekerja sama dengan perusahaan kami.
“Mbak Sari, kalau Mbak Ida itu orangnya gimana?” tanya Nova sambil mengamati pemandangan dari jendela lantai tujuh ini.
“Apanya yang gimana?” tanyaku balik sambil mengenakan blazerku kembali dan bersiap-siap pulang.
“Dia kan single”, jawab Nova.
“Apa dia juga… hmm… seperti Mbak Sari?”
“Hihihi”, aku tertawa kecil mendengar tuduhannya itu.
“Not really”, lanjutku sambil mematikan lampu dan mencolek lengan Nova agar mengikutiku keluar ruang kerja.

Karena gedung parkir sudah lumayan kosong, Katana hijauku dengan bebasnya meninggalkan gedung kantor itu. Nova menumpang di mobilku, agar nanti bisa keluar jalan-jalan bareng, katanya. Tapi however kami masih belum punya tujuan yang jelas, hingga kami berputar-putar saja di daerah itu. Sempat terpikir untuk mampir ke Kafe Jendela tempat beberapa kawan sering nongkrong, tapi karena masih terlalu sore dan sepi, akhirnya nggak jadi. Sempat juga ada ide untuk mampir ke Colors Pub, tapi sekali lagi karena masih terlalu sore, kami mengurungkan niat itu.

“Nov, kamu tadi kok nanya tentang Mbak Ida kenapa?” tanyaku karena tidak ada topik yang dibicarakan.
“Nggak apa-apa sih”, jawabnya sembari menggosok lensa sunglasses Gucci-nya dengan ujung baju.
“Just curious.”
“Dengar-dengar… dia orangnya nggak normal, yah?” tanya Nova lagi.
“Maksudmu dia sinting?” tanyaku balik, menghindari membicarakan kejelekan orang dengan cara mengambil ekstrimnya.
“Nggak gitu sih”, jawab Nova tetap dengan mimik serius.
“Kata orang, dia nggak suka sama cowok.”
“Kalo emang iya, kenapa? Dan kalo enggak, apa kamu nggak malu gosipin orang?” jawabku diplomatis.
Nova tertawa kecil mendengar sindiran itu.

“Aku cuman pengen tahu”, jawabnya tak kalah diplomatis tapi masih amatiran.
“Kalo emang ternyata iya, apa kamu lantas mau nyoba kencan sama dia?” tanyaku to the point.
Wajah Nova tampak menunjukkan ekspresi aneh, perpaduan antara jijik dan mendapat inspirasi.
“Gini deh, daripada kita ngomongin orang, gimana kalau kita mampir ke rumah dia”, jawabku sambil menyalakan lampu sen untuk belok kiri, karena Katana hijau kini telah sampai di depan rumah orang yang kami bicarakan.
“Lho, lho, lho! Mbak! Jangan dooong!” Rengek Nova ketika Katana hijau kuparkir di depan rumah besar dengan design aneh itu. Aku tidak mempedulikan rengekannya karena setengah jengkel. Aku hanya membuka pintu dan keluar dari mobil, meski sambil merengek dan menggerutu tidak jelas, Nova ikut turun juga.

Sampai ketika aku memencet bel pintu, Nova masih juga tampak tidak tenang. Ia berkacak pinggang sambil melihat ke langit yang kini berwarna ungu bercampur oranye. Rumah yang kami kunjungi itu terletak di tepi sungai kecil dengan lingkungan tertutup yang dipenuhi pohon-pohon besar (Dan para pembaca yang berasal dari kota S akan berpikir-pikir, kira-kira di mana letaknya, ya kan?) sehingga suasana jadi agak remang-remang dramatis. Seorang pembantu pria berwajah Maluku berbadan tegap keluar dari balik pintu dalam dan kembali masuk setelah aku menyebutkan nama orang yang kucari. Pintu kembali terbuka, tapi bukan si pembantu yang keluar, melainkan seorang, eh seekor anjing St. Bernard, sebesar meja makan.

“Aduh, Mbak… ada anjingnya, pulang aja yuk!” seru Nova merasa mendapat alasan. Aku hanya memandangi wajah Nova dan wajah anjing itu bergantian, lalu menunjuk ke anjing yang kini menatap wajah Nova sambil menjulurkan lidah dan mengibas-ngibaskan ekor.
“Tuh lihat!” kataku.
“Dia menyukai kamu, jadi nggak ada masalah.”
“Hm… masa sih?” tanya Nova sambil berlutut dan mengamati wajah anjing yang berekspresi lugu agak bodoh itu dari balik pagar. Si pembantu muncul dan membukakan gerbang pagar yang terbuat dari kayu berat berlubang-lubang di sana-sini itu. Kami melangkah masuk. Aku melangkah dengan tenang, sementara Nova melangkah agak gelisah sambil sesekali melihat ke arah anjing besar yang kini berjalan mengikutinya. Besar sekali memang, tingginya saja hampir sepinggang kami. Si pembantu lalu mempersilakan kami duduk di kursi beranda, tentu saja dengan ditemani St. Bernard besar itu, yang kini duduk bersimpuh di lantai memandangi Nova dengan ekspresi yang seperti tadi, lugu setengah bodoh.

Nuansa rumah itu memang agak mendirikan bulu tengkuk bagi orang yang belum pernah mengunjunginya. Pagarnya terbuat dari kayu berwarna gelap yang terkesan berat dan tertutup. Pekarangannya yang tidak terlalu luas ditutup dengan paving block yang dicat cokelat gelap, senada dengan tembok rumah yang juga berwarna maroon gelap. Bangunannya sendiri mungkin cukup bagus, bangunan tua dengan arsitektur kolonial, namun sentuhan seni kontemporer di sana-sini membuatnya tampak aneh. Bayangkan saja, lampu temaram yang menempel di dindingnya berbentuk kepala wanita yang melotot, asbak di meja beranda pun berbentuk kepala seorang bayi (atau tuyul?) yang mulutnya menganga lebar. Perpaduan yang agak aneh karena meja dan kursi berandanya berwarna hijau tua dan berbentuk ukiran Jepara klasik. Di sudut beranda juga terdapat beberapa patung kayu ukiran Bali yang menggambarkan dua orang wanita tanpa busana sedang saling mencekik.

“Angker ya, rumahnya?” celetuk Nova yang rupanya juga mengamati situasi.
“Yah, tapi dia satu-satunya designer yang setuju dengan harga yang kamu tawarin!” jawabku mengingatkan Nova.
“Hm, iya ya. Mbak Ida partner kantor kita”, gumam Nova.
“Apa nggak sebaiknya nanti kita ngomongin kerjaan aja?”
“Alaa, udahlah, sekarang Jumat malam”, jawabku jengkel.
“Lagian kan kamu pengen kenal lebih jauh sama dia?”
“Siapa yang pengen kenalan sama aku?” tanya suara berat seorang wanita yang terdengar tiba-tiba dari samping beranda.

Nova dan aku sempat agak terjingkat karena kaget oleh suara Mbak Ida yang memang berat itu. Wanita berusia 30-an itu telah berdiri di samping beranda dan mengelus-elus kepala anjingnya. Meski usianya agak lebih tua dariku, Mbak Ida memiliki postur tubuh yang terjaga. Tidak seperti Nova dan aku yang meski ramping tapi terkesan lebar dan bidang, postur tubuh Mbak Ida cenderung tidak nampak lebar. Tingginya kurang lebih 160-an, dengan proporsi yang lebih panjang di kaki. Kulitnya agak gelap dan bentuk tubuhnya padat tapi khas wanita dengan dada yang agak membusung. Sore itu ia mengenakan sejenis kimono berwarna coklat gelap yang belahannya agak rendah hingga kami dapat dengan jelas melihat belahan dadanya. Rambutnya yang lurus dan panjang sebahu dicat merah. Merah beneran, merah bendera, bukan merah brunette. Wajahnya cantik namun matanya terkesan misterius di bawah alis yang hampir tidak ada rambutnya.

“Ini, si Nova yang pengen kenalan sama Mbak Ida.”
“Lho, kan udah kenal?” jawab Mbak Ida sambil menjabat tangan Nova yang malu-malu dan agak gemetar.
“Ayo masuk!” seru Mbak Ida mempersilakan kami masuk.
“Bas, kamu jaga di luar ya!” serunya, kali ini ditunjukkan ke si anjing.
“Mbak, nama anjing kamu siapa sih?” tanyaku ingin tahu.
“Lubas Herera”, jawab Ida singkat sambil membukakan pintu ke ruang tamu.
Aku hanya memandangi anjing dan pemiliknya bergantian, setengah heran karena jarang ada anjing yang punya nama belakang.

Suasana ruang tamu yang amat luas itu berbeda 180 derajat dengan beranda dan pekarangan yang gelap dan misterius. Dinding ruang tamu berwarna putih cerah, lantainya juga terbuat dari keramik putih. Sementara perabotannya bergaya modern, terbuat dari pipa-pipa besi berlapis chrome mengkilat dengan bantalan-bantalan kursi biru cerah. Satu-satunya hiasan dinding adalah jam yang tepinya terbuat dari ban penyelamat kapal berwarna merah terang bergaris putih, dan jarum jamnya juga berwarna merah terang, kontras dengan nuansa ruangan yang biru-putih. Tidak ada coffee table (meja tamu), yang ada hanya sebuah meja makan di tengah ruangan yang kakinya terbuat dari pipa-pipa mengkilat dan mejanya sendiri dari kaca dengan bentuk yang tidak simetris, seperti sirip ikan hiu. Di sudut ruangan terdapat tiga buah komputer Macintosh yang casing dan monitornya berwarna biru transparan, semuanya masih menyala dan screen savernya berbeda-beda, di monitor paling kiri ada huruf I yang berputar-putar, di monitor tengah huruf D, dan di monitor paling kanan huruf A, ketiganya membentuk huruf nama pemiliknya, benar-benar nyentrik, pikirku.

Sementara dinding belakang dari ruang tamu ini bukan tembok, melainkan kaca yang menghadap ke sebuah kolam renang kecil berbentuk pisang. Yang paling aneh adalah dinding dan dasar kolam renang itu tidak polos seperti umumnya kolam renang, melainkan dipenuhi sebuah anime yang dibelit gurita. (Setelah diamati lebih jauh, ternyata bukan gurita, melainkan kejantanan pria yang jumlahnya banyak dan panjang-panjang seperti ular melilit badan wanita-wanita tanpa busana itu).

“Yah, ginilah rumahku”, kata Mbak Ida memecah keheningan.
“Gimana?”
“Hm… bagus, bagus sekali”, jawab Nova mengangguk-angguk tanpa mampu menyembunyikan ekspresi gugup setengah takut.
“Berbeda sekali dengan waktu aku ke sini pertama dulu”, jawabku sambil mengamati jam dinding aneh yang kuceritakan tadi.
“Iya dong Sar”, jawab Mbak Ida.
“Kami kan tipe pembosan, kaya kamu!” lanjutnya penuh arti.

Kami duduk mengelilingi meja makan berbentuk sirip hiu itu, menghadap ke beberapa gelas sirup yang dihidangkan si pembantu yang tadi membukakan pintu. Nova tak henti-hentinya memandangi rambut Mbak Ida yang dicat merah menyala itu, sementara aku sendiri berusaha untuk tidak menunjukkan ekpresi heran, takut dia tersinggung.

“Nah, ada apa ini kok kemari? Ada order lagi yah?” tanya Mbak Ida mengawali pembicaraan setengah bercanda.
“Ah, enggak, hanya nggak ada acara aja sore ini”, jawabku sambil menyeruput minuman di gelas berbentuk kepala Miki Tikus. Agak kaget juga aku ketika minuman di gelas itu menyembulkan sedikit aroma alkohol, aku hanya meneguk sedikit saja karena aku memang tidak suka minuman yang memabukkan. Aku melirik ke Mbak Ida sambil mengangkat alis kiriku.
“Apa nih minumannya?” tanyaku dengan mata menuduh namun masih terkesan ramah.
“Oh, iya!” jawab Mbak Ida dengan ekpresi datar.
“Aku lupa kamu nggak minum.”
Mbak Ida lalu berjalan ke dispenser di sudut ruangan dan menuangkan segelas air putih untukku. Ketika ia berjalan meninggalkan meja makan, aku melirik ke arah Nova.
“Nov, kalau nggak suka nggak usah diminum, lho”, bisikku mencegahnya.
“Hmm?” tanya Nova sambil melihat ke arahku dan meletakkan gelasnya yang telah kosong ke meja. Ah, ya sudahlah. Aku mengurungkan niatku mencegah Nova meminum minuman aneh itu.
Kami lalu ngobrol kesana kemari diselingi joke-joke khas wanita lajang. Suasana menjadi hangat dan akrab. Tanpa terasa jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, namun Nova yang tadi takut-takut, kini malah tampak betah. Memang Mbak Ida, terlepas dari bagaimana bentuknya, adalah orang yang ramah dan menyenangkan. Sekedar info, ia adalah seorang designer yang kerap kali bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja. Dan ia sering kami pakai karena kelebihannya itu, ia memiliki people skill yang tinggi. Tidak seperti umumnya orang seprofesi dia, yang sulit untuk memahami orang lain dan cenderung menganggap orang lain awam. Meski gayanya mendandani rumah cenderung aneh, dia sama sekali bukan tipe orang yang nyentrik atau weird dalam hubungan kerja. Ia amat profesional.

Pembicaraan berlanjut sampai kemudian Mbak Ida mengantar Nova berkeliling rumahnya. Aku yang dulu sudah pernah ke situ tidak ikut berkeliling, aku mengambil sebuah buku dari rak di sudut ruangan dan mulai membacanya. Sebuah buku paperback bagus, yang berjudul Rich Dad Poor Dad, oleh Robert Kiyozaki. Cukup lama aku membaca buku itu sampai kemudian Nova datang kembali ke ruang tamu menjumpaiku.
“Mbak Sari, pulangnya nggak buru-buru kan?” tanyanya dengan mata kekanak-kanakan.
“Oh? Nggak kok”, jawabku sambil melirik arloji.
“Emang mau ngapain kamu?”
“Mbak Ida ngajak aku nyobain kolam renangnya, kata dia airnya hangat”, jawab Nova lagi.
“Yah, terserahlah. Tapi apa kamu bawa baju renang?” tanyaku.
“Dia mau minjemin kita baju renang kok”, jawab Nova sambil menunjukkan sebuah kantong plastik yang berisi pakaian renang.
“Ganti bajunya di kamar mandi situ, Nov!” kata Mbak Ida yang tiba-tiba muncul.

Kali ini Mbak Ida muncul dengan kimononya sudah tidak lagi diikat, dibiarkannya terbuka begitu saja, dari balik kimono tampak bikini renang berwarna merah seperti rambutnya. Hmm… kontras dan indah juga perpaduan warna itu, kulitnya yang kuning agak gelap dan bikini serta rambut merah. Dalam hati aku sempat iri dengan bentuk badan Mbak Ida yang padat dan berbentuk, sementara badanku sendiri cenderung ceking dan datar panjang-panjang.
“Kamu ikutan sekalian deh, Sar!” Ajak Mbak Ida lagi.
“I Promise I won’t do anything”, lanjutnya penuh arti.
Aku hanya mengangkat bahu dan tidak punya pilihan lain. Apalagi Nova menarik lenganku masuk ke kamar mandi.

Kamar mandi rumah ini jadi terkesan aneh karena tidak ada yang aneh di dalamnya. Kamar mandi klasik berukuran besar dengan bak mandi di sudut, cermin besar di dekatnya, sebuah kloset di sampingnya, dan sebuah pintu menuju ke ruang lain. Begitu biasa jika dibandingkan dengan suasana dalam rumah. Di situ Nova tanpa malu-malu mempreteli semua yang melekat di badannya dan mengenakan bikini yang dipinjamkan Mbak Ida.

“Kamu kok milih yang bikini sih?” tanyaku sambil memilih-milih pakaian renang dalam kantong plastik.
“Emang kenapa, Mbak?” Jawab Nova sambil melenggak-lenggok di depan cermin menatap keindahan bentuknya yang memang indah.
“Kan nggak ada cowok”, lanjutnya lagi.
Aku memilih pakaian renang biasa saja, Speedo berwarna biru muda. Hmm, terasa agak longgar di bagian dada dan pinggang, menunjukkan dimana perbedaan antara bentuk badanku dan badan Mbak Ida. Sempat menatap cermin, dan… yah… aku memang sama sekali tidak jelek! Pikirku sambil menatap garis tubuhku yang menurutku paling indah di seluruh dunia.

Tiba di pinggiran kolam renang Mbak Ida, rasa-rasanya aku malas untuk masuk ke air. Entah kenapa, tapi rasa-rasanya gambar kartun di dasar dan dinding kolam itu mengganggu pikiranku. Sementara Nova hanya mengomentari bahwa gambar kartun itu lucu. Yah, memang dia jarang memperhatikan sampai ke detail, hingga dia lantas nyemplung begitu saja bersama dengan Mbak Ida yang sudah lebih dulu masuk ke air. Dari tepi kolam aku mengamati bahwa di dinding-dinding kolam renang terdapat lampu-lampu besar, hingga dalam air dapat terlihat dengan jelas. Aku melihat tubuh lencir Nova berenang-renang dengan latar belakang gambar-gambar wanita kartun yang ketakutan karena dililit oleh ular-ular besar.

Hmm, pemandangan yang menarik sebenarnya, namun aku memilih untuk duduk saja di tepi kolam, membiarkan angin malam menyejukkan kulit tubuhku yang hanya tertutup pakaian renang. Karena merasa kelewat dingin, akhirnya aku membungkus badanku dengan kimono Mbak Ida yang ditinggalkannya di tepi kolam, dan berjalan mengelilingi halaman belakangnya yang lumayan besar dan bersih, mencari si pembantu tadi sekedar untuk teman ngobrol, tapi pemuda itu juga tidak ada. Dalam hati, aku merasa sedikit bersalah karena mengerti siapa Mbak Ida sebenarnya. Wanita itu tak lain adalah petualang juga, sama seperti aku sendiri. Namun yang berbeda adalah bahwa buruannya seringkali berasal dari teman sejenis, dan bukan lawan jenis. Itu sebabnya pikiranku sekarang terasa seperti membawa Nova ke mulut singa. Tapi, ah, masa bodoh! Aku kan bukan baby sitter untuk Nova. Meski keberadaannya seringkali membuatku merasa memiliki seorang adik, tapi jalan hidupnya kan bukan urusanku, itu pilihannya sendiri.

Dari tempatku berdiri di sudut halaman belakang, kolam renang Mbak Ida tidak terlihat karena tertutup pagar tanaman setinggi satu meteran. Tapi setelah lama, aku baru menyadari kalau aku tidak mendengar suara deburan air seperti yang kudengar tadi. Aku mulai merasa tidak enak, dan segera melangkahkan kaki ke arah kolam renang. Seperti dugaanku, Nova dan Mbak Ida sudah tidak berada di kolam renang, juga di sekitarnya, mereka mungkin sudah masuk ke dalam rumah. Aku berusaha melihat melalui dinding kaca, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu atau ruang tengah.

“Di mana kedua orang itu”, pikirku. Kucoba membuka pintu kaca geser untuk masuk ke ruang tengah, ternyata terkunci. Berarti aku terpaksa harus memutar melalui pintu depan. Agak risih juga hanya mengenakan pakaian renang terbalut kimono tipis dan berjalan di antara pohon-pohon pisang di kegelapan. Akhirnya aku sampai ke garasi tempat 318i Mbak Ida teronggok congkak. Lalu membelok ke kiri, dan aku tiba di beranda yang menakutkan tadi. Tampak si Lubas Herera kini memandangi aku sambil mengibas-ngibaskan ekor. “Anjing tolol ini tentu tidak bisa ditanyai keberadaan tuannya”, pikirku. Lalu aku membuka pintu depan yang untungnya tidak terkunci, dan kembali berada di ruang tamu. Seperti yang kuduga, ruang tamu itu kosong.

Aku berjalan mondar-mandir di situ sambil memikirkan kira-kira ke mana kedua temanku tadi. Akhirnya aku mencoba alternatif terburuk, yaitu kamar tidur Mbak Ida. Konyolnya, aku tidak menjumpai pintu lain selain ke kamar mandi dan ke kolam renang tadi. Rumah ini memang terasa begitu besar karena tidak ada sekat-sekat ruangannya. Berarti dimana letak kamar tidurnya? Setelah berpikir beberapa menit, naluri petualangku mengatakan bahwa kamar tidur seorang pemburu umumnya tergabung dengan kamar mandi atau setidaknya memiliki akses langsung ke kamar mandi. Aku jadi teringat akan pintu di kamar mandi tadi. Segeralah aku melangkah ke kamar mandi, oops! kimono panjang ini mengganggu langkahku, jadi aku melepaskan dan menaruhnya di meja makan.

Setibanya aku di kamar mandi, terlihat pintu yang kumaksud terbuka sedikit. Lampu kamar mandi yang terang membuat aku tidak dapat melihat apa-apa dari celah pintu itu, tampak temaram di sana. Pelan-pelan aku melangkahkan kaki ke sana. Setelah makin dekat, terasa dinginnya hembusan hawa AC dari celah pintu yang terbuka sedikit itu, terdengar pula alunan lembut musik sound track Titanic dari Kenny G. Hmm, apakah mereka berdua ada di situ? Kalaupun iya, apa yang mereka lakukan? Bukankah Nova seorang straight? Apakah Mbak Ida mencoba menjahili Nova? Atau apakah Nova ingin mencoba petualangan baru? Berbagai pikiran jorok berkembang dalam benakku, membuat aku tidak segera memasuki ruangan di balik pintu itu. Hm… apakah aku harus langsung masuk? Atau mungkin menunggu di ruang tamu sambil pura-pura tertidur? Atau harus mengintip dulu? Uhh… bingung juga. Anyway, aku harus melakukan sesuatu, bukan?

Setelah memantapkan diri, aku memegang handel pintu dan dan mendorongnya hingga terbuka. Nah, tampaklah kamar tidur Mbak Ida yang ternyata tidak terlalu besar, namun dindingnya berlapis kayu jati berwarna gelap. Lampu yang kuning temaram membuat suasana terasa gelap. Dinding kayu itu polos tidak tertempeli hiasan apa-apa, karpet tebal di lantai juga polos berwarna coklat tua, tepat di tengah-tengah ruangan teronggok tempat tidur kayu besar. Nah, di atas ranjang besar itulah Nova tertelungkup dengan bikininya, sementara si pembantu pria yang tadi kucari-cari kini sedang duduk di atas pantat Nova dan memijiti punggung wanita itu.

Keduanya tampak agak terkejut melihat kehadiranku. “Wah, Sari! Kamu juga mau ikutan ya?” Terdengar suara Mbak Ida mengejutkanku. Wanita itu duduk di sebuah sofa di pinggir kamar. Rambutnya masih tampak basah dari kolam renang tadi, bikini merahnya yang tipis dan agak basah tidak berfungsi menyembunyikan apa-apa lagi.
“Pijitan si Beni enak nggak, Nov?” cerocos Mbak Ida.
“Mmm… mmm… lumayan lah, Mbak!” jawab Nova yang masih tertelungkup di ranjang, dipijit oleh si Beni yang bertelanjang dada.
“Oh, well…” Aku seperti kehabisan kata-kata karena dihadapkan pada suasana yang agak tidak wajar. Aku lantas duduk di sofa di samping Mbak Ida, mengamati wajah Nova yang kini tampak terpejam-pejam karena otot kakinya sedang dipijat oleh si Beni. Dari cara memijatnya, sepertinya Beni memang orang yang ahli dalam hal tersebut, bukan hanya seorang yang asal pencet. Setelah sesaat mencoba beradaptasi, aku menengok ke Mbak Ida.

“Mbak Ida nggak dipijit juga?” Tanyaku.
“Aku sih udah selesai”, jawabnya singkat.
“Kamu mau nyoba? Enak lho, Sar.”
“Iya coba aja Mbak Sari!” sahut Nova yang rupanya sudah selesai dipijit, ia kini menghampiri sofa tempat kami duduk.
“Enak kok, jadi terasa lebih lentur seperti jelly!” candanya menambahkan. “Eh, Ben! Jangan kembali dulu, nih Ibu Sari juga pengen dipijit!” seru Mbak Ida pada pemuda Maluku itu.

Aku beranjak menuju tempat tidur besar itu. Beni tampak tersenyum manis dan mengangguk hormat padaku. “Hmm… Not bad”, pikirku. Meski amat pendek dan hanya setinggi dadaku, pemuda ini otot-ototnya lumayan jadi juga. Beni yang kulit tubuhnya hitam legam itu hanya mengenakan celana jeans pendek yang menunjukkan adanya tonjolan khas pria, baguslah, pikirku. Ia normal, pria mana yang tidak bereaksi seperti itu kalau diijinkan menyentuh badan si Nova yang memang atletis dan kesat. Nah, kita tunggu bagaimana reaksi dia setelah memijiti badan si pemburu ini. Hmm, pemuda yang beruntung, pikirku nakal.

“Apa perlu saya buka pakaian?” tanyaku pada Beni dengan nada serius namun bertujuan menggoda.
Pemuda itu diam dan tampak bingung lalu melirik ke arah majikannya.
“Hahaha!” Mbak Ida tertawa gelak.
“Nggak apa-apa Ben! Ibu Sari itu badannya oke punya lhoo!” Beni tampak ragu-ragu dan menelan liur, reaksi yang aku sukai untuk digoda! Aku malah tanpa ragu-ragu menurunkan lengan pakaian renang ini ke kiri kanan dan menariknya ke bawah, hingga kini pemuda beruntung itu dapat melihat segalanya di bawah sinar lampu yang kuning temaram. Mulut Beni menganga menyaksikan semuanya. Di hadapannya berdiri si pemburu, tanpa selembar benang pun, dengan postur yang satu setengah kali lebih tinggi darinya, berwarna kuning bersih dan halus semampai. Aku menarik nafas dalam agar kedua dadaku membusung ke depan, lalu menghembuskan nafas lagi hingga kedua bukit yang tidak besar itu kembali ke posisi semula, dan bola mata Beni mengikuti gerakan kedua benda indah itu. Aku tersenyum sambil menyipitkan mata menggodanya, dan memanjat naik ke ranjang dan membaringkan badanku tertelungkup di kasur pegas empuk itu.

“Hey, ayo, jangan bengong, Ben!” Seru Mbak Ida sambil tertawa-tawa.
“Tunjukkan pijitan terbaikmu!”
“Lho, emangnya yang diberikan ke aku tadi bukan pijitan dia yang terbaik?” tanya Nova yang kini duduk di samping Mbak Ida.
“Lah, kalau buat Sari ya lain dong Nov!” cerocos Mbak Ida lagi.
“Untuk Sari kan harus yang… hmm… menyentuh!”

Nova dan Mbak Ida lalu tertawa tawa sementara kini kurasakan tangan-tangan Beni mengoleskan baby oil ke betisku dan mulai memijit. “Waaa!” Aku menjerit keras ketika kurasakan pijitan jari-jari Beni begitu keras dan menyakitkan. Kontan saja Beni menghentikan pijitannya dan memasang ekspresi penuh rasa bersalah.
“Pelan-pelan aja, Mas Beni!” kataku mencoba menghiburnya, “Mulai dari punggung aja nggak apa-apa kok.”
Lantas Beni mulai mengolesi punggungku dengan baby oil, dan mulai memijit pelan-pelan. Hmm… harus kuakui rasanya memang mantap dan membuat rileks. Biasanya, pria yang tahu memijit wanita adalah pria yang hebat di ranjang, tapi aku segera membuang pikiran konyol itu dan memejamkan mata menikmati pijitan-pijitannya yang melemaskan otot. Hmm, menyenangkan sekali dipijit oleh pemijit ahli, di ruangan ber-AC yang temaram, diiringi musik instrumental Kenny G.

Saat asyik-asyiknya memejamkan mata menikmati suasana, aku sayup-sayup mendengar erangan wanita di tengah alunan lembut saxophone itu. Apakah memang di kaset Kenny G terdapat sound effect seperti itu? Ah, aku rasa tidak. Aku membuka mata sedikit, dan menatap lurus ke arah sofa di pinggir kamar. Dan aku segera mendapat jawaban dari mana rintihan itu berasal. Di atas sofa itu, Mbak Ida juga tampak sedang memijit badan Nova dari belakang. Tepatnya, Mbak Ida sedang mengusap-usap pinggang Nova yang terbuka, sambil menciumi leher kawanku itu. Novanya tidak menunjukkan perlawanan sedikitpun, malah tangan kirinya memeluk kepala Mbak Ida yang kini mencium dan menjilati leher kirinya.

Pelan-pelan jemari lentik Mbak Ida merambati pinggang Nova ke atas, lalu menyusup ke balik bikini basah yang dikenakan Nova. Membuat payudara Nova seperti tersentak-sentak karena nafasnya menjadi sulit diatur. Wajah Nova yang terpejam itu kini tampak begitu terangsang oleh gerakan-gerakan Mbak Ida. Dengan gerakan cepat, Mbak Ida melepaskan bikini bagian atas itu, hingga kini kedua payudara Nova yang memang menurutku amat indah, padat, putih bersih dengan puting kecoklatan itu terpampang jelas.

“Hey, kamu kok membuka mata, Sar?” kata Mbak Ida yang kini menatap tajam ke arahku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kulihat wajah Nova, wajah itu kini tampak sayu dan matanya menatap ke arahku dengan tatapan dingin dan datar, seolah tidak ingin aku mengganggunya. Ya ampun, pikirku. Apa yang aku kuatirkan telah terjadi. Pijitan-pijitan Beni kini tidak lagi terasa. Aku mengangkat kepalaku dari ranjang dan bermaksud meminta Mbak Ida berhenti mempermainkan badan Nova. Namun Nova malah mengelus paha Mbak Ida yang kini menghimpit pinggangnya di kiri-kanan.
“Tenang aja lah Sar, Nggak apa-apa kan, sekali-sekali!” seru Mbak Ida.
“Ben, kamu ikuti apa yang aku kerjakan ya?”
Mengakhiri kalimatnya itu, Mbak Ida lalu meremas-remas payudara Nova dengan mantap namun lembut sambil menjilati rahang dan lehernya. Nova tampak memiringkan kepalanya, terpejam-pejam sambil mendesah-desah menggumamkan nama Mbak Ida. Tiba-tiba aku merasakan apa yang kini dirasakan oleh Nova. Tangan-tangan Beni menyusup di antara payudaraku dan kasur ini, lalu meremas-remas dan memilin-milin puting susuku. Aku terhenyak dan memejamkan mata karena serbuan yang tiba-tiba itu, segera aku mengosongkan pikiran dan membuang semua logika, membiarkan diri larut dalam petualangan baru.

Pelan-pelan aku merasa tubuhku diangkat dan didudukkan di ranjang, sementara Beni duduk di belakangku dan mengusap serta meremas-remas kedua payudaraku lembut. Sejenak kemudian puting-puting susuku terasa menegang terangsang, sementara payudara ini terasa kaku dan memadat. Aku membuka mata dan melihat bagaimana Mbak Ida menghimpit pinggang Nova dari belakang dengan kedua kakinya, ibu jari kaki kanan Mbak Ida kini menyusup ke balik celana bikini Nova dan bergerak-gerak disitu, sementara tangannya terus menjentik-jentik puting susu Nova. Mbak Ida sendiri tampak amat terangsang, dagunya terkait di pundak kiri Nova sambil wajahnya terpejam-pejam, mungkin karena gesekan dadanya dengan punggung Nova. Sementara Nova tak kalah terangsang, kedua alisnya menyatu di tengah kening dan giginya terkatup meski bibirnya setengah terbuka, dan mendesah-desah norak.

“Aduuhhh… aduuhhh…. enaknya Mbak Idaaa… aduuhhsshh.” Birahi dalam tubuhku tergugah ketika melihat Nova diperlakukan seperti itu, terbayang rasanya jika badanku diperlakukan demikian. Tampaknya Beni menyadari hal itu, namun tidak menirukan gerakan Mbak Ida. Ia menyusupkan kepalanya di bawah ketiak kiriku dan mengulum-ngulum puting susuku dari situ, Uhhh… rasanya geli dan merangsang bukan main. Sementara jari-jari tangan kanannya menguakkan bibir kewanitaanku hingga terbuka dan jari tangan kirinya memijit-mijit di dalam situ, “Aduuuhhh…” nafasku sampai tersengal-sengal dan rasanya sulit menjaga kedua mataku agar tidak menyipit-nyipit. Aku hanya menggeretakkan gigiku rapat-rapat menahan rangsangan ini. Ingin memejamkan mata, namun aku tidak ingin melewatkan pemandangan di hadapanku, dimana Nova sedang dikerjai habis-habisan oleh tangan-tangan Mbak Ida yang begitu berpengalaman. Ohh, sungguh pemandangan yang membuat kewanitaanku berdesir melembab.
Titik-titik keringat mulai tampak di tubuh Nova meski AC sangat dingin. Tubuh lencir atletis itu kini tampak lunglai seperti selembar handuk, dan pasrah saja ketika Mbak Ida menelentangkannya di karpet dan menjilat-jilat paha bagian dalamnya. Saat diperlakukan seperti itu, Nova menggeliat-geliat seperti kesetanan sambil mengaduh-aduh keras dan kedua tangannya berpegangan pada kepala Mbak Ida di selangkangannya. Melihat kondisi itu, otot-otot kewanitaanku tiba-tiba mengejang menangkap jari tengah Beni yang sedang berada di dalamnya. Merasakan jarinya dijepit begitu, Beni malah menggerakkannya keluar masuk kewanitaanku dengan cepat sambil mengait-ngait di dalam, tentu saja tubuhku jadi terjingkat-jingkat kegelian dan punggungku melengkung seperti busur panah. Kudekap kepala Beni yang menempel pada puting susu kiriku agar ia tak menghentikan hisapan dan jilatannya pada puting yang telah mengeras ini. Rintih dan eranganku ikut terdengar memenuhi ruangan, menutupi lembutnya alunan saxophone Kenny G.

Aku benar-benar telah terangsang hebat. Aku tidak lagi mempedulikan Nova dan Mbak Ida yang kini tengah berpelukan erat sambil paha-paha mereka saling menggesek kewanitaan mereka. Aku bangkit dari duduk dan menunggingkan badanku, mempersilakan Beni menikamkan kejantanannya. Sejenak Beni melepaskan tubuhku, terdengar suara kain berjatuhan saat Beni membuka Jeans-nya, lalu tubuhku segera terasa penuh terjejali benda hangat yang keras dan tegang, yang membuatku langsung terpejam dan menengadahkan kepala menahan rasa nikmat tak terkira ini. Aku setengah membuka mata sambil meringis-ringis keenakan. Kedua alisku kini menyatu di keningku, mengikuti ekspresi penuh birahi dari Nova dan Mbak Ida di karpet. Terasa pinggul Beni menabrak-nabrak pantatku ketika ia menggerakkan tubuhnya maju mundur. Gesekan kejantanannya terasa membuat dinding-dinding kewanitaanku menjadi panas dan berdenyut. Otot-otot di dalam sana berusaha mencengkeram kejantanan yang bertekstur kasar itu. Aduuhhh, rasanya nikmat sekali disetubuhi dari belakang sambil menatap tubuh kawan sekantorku dinikmati habis-habisan oleh seorang wanita petualang berpengalaman.

Bermenit-menit lamanya posisi tidak berubah, namun kenikmatan serta sensasi yang kurasakan terasa kian memenuhi batinku. Badanku terasa begitu nikmat digempur oleh kejantanan Ben, apalagi kedua telapak tangannya kini berada pada payudaraku dan memencet-mencet puting susuku. Uhhh, enak sekali rasanya. Dari atas ranjang besar ini, aku melihat tubuh-tubuh indah Mbak Ida dan nova kini saling berdekapan makin erat dan kaki-kaki mereka semakin cepat bergerak pada selangkangan mereka, lalu kedua tubuh semampai itu tiba-tiba mengejang dan wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi kosong yang setengah memejamkan mata dan mulut menganga. Lalu keduanya lunglai di atas karpet sambil terengah-engah dan tetap berpelukan.

Aku membayangkan nikmat dan hangatnya puncak yang telah mereka capai dan menggoyang-goyangkan pinggulku untuk berjuang mencapai puncakku sendiri. Beni tampaknya juga dapat bekerja sama, ia mengikuti gerakan-gerakanku. Namun tidak semuanya sesuai harapan, tiba-tiba Beni mencabut kejantanannya dan melepaskan kedua payudaraku. Aku masih tetap menungging pada kedua lututku di ranjang ketika cairan panas terasa menyemprot ke punggungku. Ahhh, sial benar nasibku. Beni telah mencapai puncaknya, dan kini duduk di tepi ranjang sambil terengah-engah pucat.

“Mm.. maafkan saya, Bu…” kata Beni terbata-bata.
“Hmmhhh…” Aku menarik nafas panjang sambil menatap kedua matanya penuh rasa marah.
“Nggak apa-apa kok Ben, kamu hebat sekali”, Jawabku setelah menguasai emosi.
“Dah, tidur di kamarmu sana!” Beni lalu berjalan tertatih-tatih keluar kamar. Aku menatapnya dengan rasa benci, dasar pria tidak bertanggung jawab! Mending kalau dia suamiku, tapi dia hanya pembantu kawanku, sebal sekali rasanya. Kutelentangkan diri di ranjang besar itu menatap ke langit-langit yang berhiaskan cermin di sana-sini. Menatap bayangan tubuhku sendiri yang gelisah di atas sprei putih yang kusut, menatap bayangan tubuh Nova dan Mbak Ida yang masih saling berpelukan di karpet sambil terpejam dengan ekspresi puas. Sungguh tidak adil, pikirku. Karena birahiku sulit kutahan, akhirnya aku melakukan apa yang selama ini pantang kulakukan, yaitu memuaskan diri sendiri.

Kupejamkan kedua mataku, aku berkonsentrasi penuh membayangkan postur tubuh laki-laki idamanku, The Big D! Kubasahi ujung jariku dengan lidah, lalu kupilin-pilin kedua putingku, membayangkan ia sedang mengulum-ngulumnya. Hmmm… tidak terasa seperti dikulum beneran, tapi siapa peduli itu di tengah kondisi seperti sekarang. Kutekan-tekan sendiri klitoris dan liang kewanitaanku yang terasa becek dan hangat. Uhhh… cukup lama juga aku menggeliat-geliat sendiri di atas ranjang besar itu sambil kedua tanganku menjamah tubuhku sendiri. Sampai tiba-tiba aku merasakan kasur bergerak-gerak karena ada orang lain yang naik ke ranjang. Ah, pasti Mbak Ida ingin memanfaatkan situasi, pikirku. Tadinya aku ingin menolak, tapi kuurungkan niatku karena ingin mencapai puncak yang sejak tadi tidak kesampaian. Kubiarkan saja ia menjamah tubuhku sambil aku tetap dengan setia membayangkan bahwa The Big D lah yang melakukannya padaku.

Terasa jilatan-jilatan dari lidah dan bibir yang halus dan hangat menyapu kedua putingku bergantian, pelukan hangat terasa seperti menyelimuti tubuh rampingku, dan sebuah paha halus menyelip di antara kedua tungkaiku, menggosok-gosok di situ. Sebuah jari lentik menyusul masuk ke dalam liang kewanitaanku, disusul satu jari lagi hingga kini dua jari berdesakan di dalam liang kewanitaanku. Uhhh… semuanya membuatku seperti melayang-layang di udara. Ahh, aku tidak tahu apa lagi yang terjadi, yang jelas seluruh tubuhku seperti diselimuti kehangatan yang amat nyaman. Sentuhan jemari-jemari lentik dan bibir lembut bergantian menyapu ke sekujur badan ini, memercikkan bunga-bunga api birahi yang makin lama makin terasa hangat dan nikmat. Kedua jari dalam liang kewanitaanku pun menari-nari dengan gemulai seolah sudah mengenal betul tempat-tempat yang harus dihinggapinya. Ahhh… nikmat sekali, meski aku memejamkan mata, aku seperti dapat melihat tubuhku sendiri sedang menggelinjang-gelinjang dan mengerang-ngerang dijilati oleh lidah-lidah api birahi ini.

Tidak seperti biasanya, puncak kenikmatan kali ini terasa datang perlahan-lahan dan lembut. Kehangatan tiba-tiba menyelimuti tubuhku ketika aku merasakan tubuhku dipeluk dengan hangat dan erat serta leherku dihujani ciuman, menambah kenikmatan di puncak yang kini baru saja kurasakan. Hm… terbayang wajah dan tubuh The Big D memelukku dengan penuh kasih sayang. Sulit juga membayangkan otot-otot padatnya, karena yang kurasakan menempel di dadaku sekarang adalah payudara wanita lain, dan bukannya dada The Big D yang bidang dan ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Tapi rasa nikmat terus mengguyur sekujur tubuhku, hingga sempat aku tak ingat apa-apa untuk beberapa detik.

Pelan-pelan gelombang kenikmatan itu meninggalkan diriku, membiarkan kesadaranku kembali mengambil alih. Masih terasa dekapan hangat pada tubuhku. Terpikir juga olehku untuk mengucapkan terimakasih nanti pada Mbak Ida, sekaligus mengucapkan selamat karena ia berhasil menjamah tubuhku kali ini. Hmm… hampir aku membuka mata, namun kuurungkan niatku karena masih ingin menikmati kehangatan pelukan yang somehow terasa penuh kasih sayang ini. Aku mempererat pelukanku pada tubuh semampai yang menindihku itu, sampai aku menyadari bahwa bahu tempat daguku bersandar terasa lebar dan berotot kencang seperti bahuku sendiri. Ah.. Aku hampir tidak percaya.

Pelan-pelan aku membuka mata, dan menatap tajam ke arah cermin di langit-langit yang kini menunjukkan dengan jelas siapa yang bercinta denganku barusan.
“Nova?” Aku menjerit agak membentak sambil melepaskan pelukan hangat itu. Kulihat Nova agak terkejut. Tubuh telanjangnya kini teronggok di sampingku dengan tangannya masih memegang bahuku. Wajahnya tampak sayu meski dipenuhi ketakutan. Sorot matanya tampak menyesal dan menatap sendu ke arah mataku. “Hey, apa yang kau lakukan?” tanyaku setengah membentak tanpa mengharapkan jawaban. Dan memang Nova tidak menjawab. Ia hanya menatapku dengan wajah manisnya yang kini tampak sedih. Bibirnya bergerak-gerak pelan meski terkatup rapat, dan matanya yang biasanya tajam itu kini digenangi setetes air yang kemudian bergulir jatuh melewati pipinya.

Aku tidak mempedulikannya dan segera bangkit berdiri dari ranjang. Dengan tanpa berusaha menutupi ketelanjanganku, aku melangkah cepat ke arah pintu, dan bergegas kembali ke kamar mandi dan mengguyur kepalaku dengan air dingin. Tanpa menunggu badanku kering, aku melanjutkan langkah kembali ke ruang tamu, mendapati pakaian kerjaku tergeletak kusut di meja makan, dan segera mengenakannya kembali pada tubuhku yang masih basah. Aku terduduk di kursi sambil kedua sikuku bertelekan di meja dan telapak tanganku mencengkeram kepalaku sendiri, menyesali yang terjadi barusan. Bukan diriku sendiri yang kusesali, melainkan Nova. Anak muda yang manis itu, yang dulunya lugu namun cerdas, yang secara tak sengaja terseret dalam pola hidupku, yang kini terseret makin jauh.

Ah, karena selama ini aku memproyeksikan Nova untuk bisa menggantikan posisiku di perusahaan, mungkin karena aku juga bercita-cita untuk merubah hidupnya yang dulu kurang bahagia, mungkin juga karena aku sudah begitu mencintai dan menganggapnya seperti adikku sendiri, dan jelas-jelas telah membawanya pada kehidupan yang seperti ini. Apakah aku sudah menyeretnya terlalu jauh di luar kemauan kami sendiri? “Sari!” suara berat Mbak Ida tiba-tiba mengejutkanku. Aku melepaskan cengkeramanku pada kepalaku sendiri, mengusap mataku yang tadi agak berkaca-kaca, dan menatap tajam ke arah wanita itu dengan sorot mata sangat menyalahkan. “Kamu mau nyalahin aku lagi?” tanyanya dengan nada datar sambil terus menatap mataku dari seberang meja makan.

Ia masih mengenakan kimono hitam tipisnya yang tadi sempat kukenakan. Tali kimono dibiarkannya tidak terikat hingga separuh tubuhnya terlihat jelas. Rambut merahnya pun masih belum benar-benar kering, hingga penampilannya secara keseluruhan terlihat agak menakutkan.
“Ini memang yang kamu mau ‘kan, Mbak?” tanyaku kembali dengan nada tajam.
Mbak Ida menggelengkan kepala sambil memejamkan mata.
“Nggak”, jawabnya singkat.
“Kamu terlalu memaksakan dia untuk menjadi seperti kamu”, lanjut Mbak Ida sambil berdiri dari kursinya dan melangkah ke arah rak buku di sudut ruang tamu. Aku diam saja, sambil terus mengikuti ke mana jalannya tubuh semampai itu.
“Apakah itu salah?” tanyaku padanya, seperti tidak mengharap jawaban.
“Nggak!” jawab Mbak Ida tetap membelakangiku.
“Sama sekali nggak salah.”

Aku tetap terdiam sambil menatapnya mengambil sebuah buku dan membalik-balik beberapa halaman, menyelipkan sebuah pembatas halaman pada halaman yang dikehendakinya, lalu kembali menghampiri meja sambil menatap wajahku. Diletakkannya telapak tangan kirinya di bahuku sambil memijit-mijit kecil, aku membiarkannya berbuat begitu sambil menunggu kata-katanya lagi.

“Orang seperti kamu, yang kepala batu dan berambisi tinggi…” katanya seperti setengah berbisik, “…yang merasa serba bisa, dan merasa paling kuat…” Ia berhenti sejenak sambil mengangkat tangannya dari bahuku, “…pengen mencoba merubah kehidupan seorang yang lugu seperti Nova? Agar dia bisa jadi seperti kamu? Agar dia bisa hidup bahagia dan bebas seperti kamu? Agar dia bisa memilih ke mana akan hinggap dan tidak harus menunggu dihinggapi?” Cerocosnya dengan nada menyalahkan, ia menyebutkan kembali semua kalimat yang pernah kukatakan padanya tentang filosofi hidupku, tentang ambisi pengejaran cita-cita dan pola pikir “struggle for excellence” yang selama ini aku anut. Entah kenapa, tapi kata-kata Mbak Ida seperti membuatku jadi merasa makin tidak enak dan merasa bersalah. “Cobalah sekali-sekali ngaca, Sar!” Serunya lagi sambil meletakkan buku yang baru diambilnya di hadapanku, “Coba pikir siapa sebenarnya kamu… apa yang sebenarnya kamu kejar… apa kamu yakin kalau orang lain juga bisa mengikuti pola pikir kamu?” Dagunya bergerak ke atas sedikit, memberiku komando agar melihat ke arah buku yang diletakkannya tadi.

Tanganku bergerak meraih buku hard cover bersampul cokelat gelap itu, Becoming a Person of Influence judulnya. Pelan-pelan aku membuka halaman yang oleh Mbak Ida telah diberi pembatas. Di situ tertulis sebuah salinan dari sebuah batu nisan di Inggris, yang bunyi terjemahannya kurang lebih begini, “Semasa mudaku, aku bercita-cita mengubah sikap dunia. Namun ternyata tidak mudah. Setelah aku beranjak dewasa, aku bercita-cita mengubah sikap negaraku. Namun ternyata tidak mudah juga. Setelah aku beranjak tua, aku bercita-cita mengubah sikap keluarga dan sahabat-sahabatku. Namun ternyata sudah terlambat. Kini, di akhir hayatku aku terpikir, seandainya sejak awal aku mengubah sikapku sendiri, mungkin keluarga dan sahabat-sahabatku akan ikut berubah sikap, dan mereka bisa membawa perubahan pada negaraku. Dan jika negaraku berubah lebih baik, pengaruhnya akan mengubah sikap dunia menjadi lebih baik.” Sejenak aku merenungi tulisan yang baru kubaca. Tulisan itu seperti menyadarkan diriku tentang apa yang seharusnya lebih kupikirkan tentang diriku, tentang masa depanku, dan tentang kehidupan orang lain di sekitarku.

Lama setelah itu, Nova muncul dari kamar mandi dengan mengenakan kimono handuk berwarna merah muda. Tanpa berkata apa-apa dan tanpa melihat ke arahku, ia mengambil pakaian kerjanya di meja makan, lalu membawanya kembali ke kamar mandi, untuk beberapa detik kemudian ia keluar lagi dengan sudah mengenakan pakaian kerja yang tadi dipakainya kemari. “Aku rasa sudah waktunya kalian untuk pulang”, ujar Mbak Ida dengan nada datar sambil tidak melihat ke arah kami. Tanpa banyak basa-basi, aku dan Nova melangkah keluar ruangan. Di beranda, Lubas Herera memandangi kami dan berjalan mengikuti kami sampai ke gerbang yang tidak terkunci. Aku melangkah masuk ke Katana hijauku, dan Nova menyusul setelah menutup gerbang dan mengunci gemboknya, meninggalkan Lubas Herera yang kini berdiri dengan dua kaki belakangnya hingga kepalanya seperti melongok keluar dari lubang di gerbang kayu itu. Tatapan bodohnya mengiringi kepergian kami.

Di dalam mobil, Nova meminta maaf padaku dan mengatakan bahwa ia melakukannya padaku tadi karena menyayangiku. Aku menarik tubuhnya dan membiarkannya bersandar pada bahu kiriku sementara aku mengemudi. Kubiarkan ia menangis sejadi-jadinya di bahuku. Meratapi kesepiannya sekarang, meratapi kesendiriannya di kota S, kota yang semula dijadikan tumpuan harapannya untuk masa depan yang baik. Sambil mengemudi, tanpa terasa pipiku sendiri juga dialiri air dari mataku. Aku menenangkan Nova dan menyatakan pengertianku padanya.

Kami berjanji untuk tetap tidak mengulangi kesalahan yang seperti tadi, sekaligus menyatakan diri untuk saling menganggap adik-kakak, agar hubungan kami lebih dari sekedar teman sekerja. Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk lebih memberikan pengertian pada Nova, bahwa perburuan yang selama ini terjadi bukannya didasari oleh pemuasan kebutuhan, melainkan untuk mencari yang terbaik. Oke, kadang-kadang memang ada dorongan yang tak terelakkan untuk lebih mementingkan kebutuhan diri. Namun pikiran logis dan akal sehat tetap harus menduduki prioritas pertama. Aku mengantar Nova kembali ke pondokannya, lalu memacu Katana hijau sekencang-kencangnya kembali ke The Huntress’s Lair nama yang diberikan oleh The Big D untuk tempat tinggalku di apartemen P di ujung barat kota.

Nah, ceritanya sudah selesai. Sekedar info, teman saya Nova itu kini sudah menikah dengan seorang banker sukses, dan memiliki seorang anak laki-laki yang manis seperti ibunya. Sebenarnya banyak petualangan yang saya lewatkan bersamanya. Namun kini ia tidak lagi mengembara, tidak juga menggantikan posisi lama saya di kantor. Ia lebih memilih hidup bahagia bersama keluarganya dan mengelola usahanya sendiri. Mbak Ida kini juga sudah pensiun dari avonturirnya. Ia hijrah ke Aussie untuk menetap bersama kekasihnya, seorang wanita pengusaha yang juga sukses di bidang real estate. Sementara saya sendiri? Well, goals saya adalah mencapai posisi tertinggi di kantor dalam beberapa bulan ke depan, menikah, lalu mengundurkan diri dari jabatan bergengsi itu untuk mengelola bisnis sendiri bersama pasangan saya. Semoga apa yang saya pelajari dari kehidupan ini bisa berguna untuk masa depan saya, dan masa depan generasi berikutnya. Semoga juga saya mampu memperbaiki diri saya sendiri dulu, seperti di kutipan buku yang ditunjukkan Mbak Ida pada saya tadi.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

 

Download Templates